GREBEG BESAR DEMAK
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebudayan atau upacara adat yang
berbada. Kebudayaan tersebut merupakan kebudayaan nasional. Kebudayaan
tersebut sudah lama ada dan berkembang di setiap daerah dan di teruskan
dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagai generasi penerus, mungkin
banyak yang belum tahu asal mula dan tujuan dari kebudayaan tersebut.
Grebeg Besar adalah salah satu contohnya. Kebudayaan ini terdapat di
Demak Jawa Tengah.
RUMUSAN MASALAH
Grebeg besar sudah lama ada dan berkembang di Demak. Perayaan
tersebut sepintas mungkin mirip dengan adat agama hindu. Namun, perayaan
tersebut adalah tradisi orang-orang islam di Demak. Perayaan tersebut
adalah akulturari antara agama islam dengan hindu. GREBEG BESAR adalah
murni hasil ciptaan para wali.
BAB II
PEMBAHASAN
GREBEG BESAR DEMAK
Setiap tahun, Kabupaten Demak menyelenggarakan kegiatan Grebeg Besar
yang rutin dilakukan dalam rangka memelihara kebudayaan leluhur.
Kegiatan tersebut mampu membangkitkan semangat dan kebanggaan warga
Kabupaten Demak, karena pada saat itu, terpancar kejayaan Kerajaan Demak
pada masa lalu.
Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak bisa lepas dari
perjuangan para Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa
yang melakukan aktivitasnya pada abad XV. Figur utamanya adalah Sultan
Fatah dan Sunan Kalijaga yang diakui merupakan tokoh besar dan
berpengaruh dalam lintas sejarah Kabupaten Demak. Sehingga tidak
mengherankan jika kemudian ada beragam acara dan kegiatan ritual yang
diperkenalkan oleh kedua tokoh itu masih berlangsung sampai saat ini dan
menjadi semacam ritual yang selalu di nantikan orang, tidak hanya oleh
warga Kota Wali sendiri tetapi juga oleh masyarakat luar daerah.
Menurut data sejarah, tradisi grebeg besar sebenarnya pada awalnya
tidak hanya sekali setahun pada saat Idul Adha. Semula ada empat Grebeg
Besar, yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar.
Kegiatan yang masih berlangsung adalah Grebeg Besar yang sampai
sekarang masih menjadi bagian tradisi bernilai jual.
Ritual acara Grebeg Besar diawali dengan saling silaturahmi antara
pihak Kasepuhan Kadilangu dan Bupati Demak. Didahului kunjungan Bupati
ke Sasono Rengga Kadilangu, selanjutnya sesepuh Kadilangu dan keluarga
kasepuhan bersilaturahmi menghadap Bupati dan biasanya mereka diterima
di ruang tamu Bupati. Usai bersilaturahmi tersebut, Bupati dan Wakil
Bupati bersama Ketua DPRD, Muspida Demak, dan jajaran pemerintah
kabupaten Demak berziarah ke makam-makam leluhur Sultan Bintoro di
kompleks Masjid Agung Demak. Hal ini dilanjutkan ziarah ke makam Sunan
Kalijaga di desa Kadilangu. Setelah itu rombongan meresmikan pembukaan
keramaian Grebeg Besar di lapangan Tembiring.
Usai acara silaturahmi berakhir, dimulailah semua kegiatan keramaian di seantero Demak Kota.
Kemudian, pada malam menjelang Idul Adha diadakan acara Tumpeng
Sembilan yang menggambarkan jumlah 9 wali (Wali Sanga) diserahkan oleh
Bupati kepada Takmir Masjid Agung Demak untuk dibagikan kepada para
pengunjung. Dalam acara Tumpeng Sembilan selalu di penuhi oleh warga
masyarakat yang ingin ngalap berkah dengan mengharap mendapat bagian
dari tumpeng yang dibagikan tersebut.
Tepat pada tanggal 10 Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kutang
Ontokusuma yang di mulai setelah selesai Shalat Idul Adha. Khusus untuk
acara penjamasan Kutang Ontokusuma melalui prosesi arak-arakan Prajurit
Patang Puluhan yang berjalan dari Pendopo Kabupaten Demak menuju
Kadilangu sejauh 2,5 km. Ini merupakan hiburan yang paling menyedot
perhatian masyarakat karena sepanjang perjalanan yang dilalui Prajurit
Patang Puluhan itu selalu penuh oleh masyarakat yang ingin melihat dari
dekat.
Sebuah fenomena yang sangat menarik karena merupakan suatu gambaran
yang nyata peristiwa menyatunya pejabat dengan rakyat dalam satu tempat
sehingga tampak sebuah kerukunan dan kebersamaan langkah untuk menggapai
cita- cita.
Bila zaman dahulu diadakan ritual mampu menghilangkan marabahaya,
maka untuk saat ini kita perlu mengubah pandangan tersebut menjadi
sebuah konsep yang modern, yaitu mencari alternatif penyelesaian masalah
dengan cara koordinasi dan konsolidasi pemerintah dengan masyarakat.
Ini bisa menjadi lebih baik dan membawa kemajuan Kota Wali. Betapa besar
arti Grebeg Besar bagi Kabupaten ini.
Watak Religius Inilah watak religius masyarakat Kabupaten Demak yang
selalu menghormati ajaran dan tradisi leluhur, khususnya para Wali
tentang keimanan dan ketaqwaan. Bukan hanya sekadar menjalankan ajaran
wajib dalam agama tetapi juga tradisi dan budaya Islami yang di
kembangkan para Wali untuk menarik perhatian dan membawa masyarakat
waktu itu untuk mengikuti ajaran yang mereka sebarkan. Seandainya
pelaksanaannya tidak bersamaan dengan Idul Adha mungkin tidak seramai
sekarang.
A. Budaya Grebeg Besar
Bentuk keramaian yang dikenal dengan nama GREBEG BESAR adalah murni
hasil ciptaan para wali. Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo
angkatan I mengadakan siding di serambi Masjid Agung Ampel Dento
Surabaya, keputusannya sebagai berikut :
“NGENANI ANANE SOMAWONO KIPRAH MEKARE TSAQOFAH HINDU ING NUSA
SALALADANE, JUWAJIBAN PORO WALI AREP ALAKU TUT WURI ANGISENI. DARAPUN
SUPOYO SANAK-SANAK HINDU MALAH LEGO-LEGOWO MANJING ISLAM.
Artinya : Dengan adanya perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah
ini, tugas para wali dakwah menyesuaikan adat istiadat setempat sambil
mengisi nafas Islam, agar supaya masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus
ikhlas masuk Islam.
Keputusan siding ditulis Sunan Bonang dengan Huruf Arab Gondil,
bentuknya notulen singkat. Pada tahun 1938 M, masih tersimpan di dalam
mushola Astana Tuban dirawat oleh juru kunci yang bernama Raden Panji
Soleh.
Sejak itu, Sunan Kaljaga mulai bertindak sebagai pelopor pembaharuan
(Reformis) dalam menyiarkan agama Islam. Untuk mengimbangi kepentingan
masyarakat, beliau ciptakan jenis kesenian baru yang disebut Wayang
Purwo (wayang kulit). Semua jenis kesenian rakyat yang hampir mati
karena Majapahit runtuh, dibangkitkan supaya hidup kembali. Tujuannya
untuk mencari simpati masyarakat dan jangan sampai terjadi shock culture
pada orang-orang yang sudah kuat religinya dengan agama tertentu. Hal
itu dibenarkan juga oleh Dr. W.F Stutterheim dalam tulisannya “Culture
Geschidenis Van Indonesia”.
Pada zaman kejayaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi
Brawijaya V, pernah mengadakan upacara Sradha dibuat spektakuler. Sebab
upacara tersebut dibunyikan gamelan Prabu Kertabhumi Brawijaya V yang
bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima.Dulu dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta
Pati (Panji Semirang) dari kerajaan Jenggala secara turun temurun
menjadi milikr raja-raja Majapahit.
Setelah Majapahit runtuh, semua benda pusaka milik Prabu Kertabhumi
Brawijaya V diboyong ke Demak. Termasuk gamelan Kanjeng Kyai Sekar
Delima yang terdiri dari : “ Bonang Sapangkon, Demung dua pangkon,
Kempyang Sepangkon, Saron Barung dua pangkon, Saron Penerus dua pangkon,
bedhug satu buah, dan Gong Besar Sakti”.
Apabila gamelan itu ditabuk/dibunyikan, Bonang menggambarkan sorang
imam yang berdo’a, sedangkan Demung, Kempyang, Saron, dan lain-lainnya
menggambarkan makmum yang sedang meng-amin-I (membaca Amin).
Supaya da’wahnya para wali di dalam menyiarkan Islam dapat menarik
perhatian umum, gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima dimanfaatkan. Tetapi
sudah dilengkapi dengan seperangkat gamelan baru yang dibuat oleh Sunan
Kalijaga. Lalu gamelan dibagi menjadi dua perangkat, yang seperangkat
dinamakan Kajeng Kyai Sekati dan seperangkatnya lagi dinamakan Kanjeng
Nyai Sekati. Menurut wasiat Sunan Kalijaga, bahwa sampai kapanpun
keberadaan gamelan tersebut harus sejodho (sepasang). Oleh karena itu,
Keraton Kasunanan Surakarta yang hanya menerima pembagian gamelan
Kanjeng Kyai Sekati, lalu membuatkan pasangan baru (duplikat gamelan
Kanjeng Kyai Sekati) dan diberi nama “Guntur Madu” yang biasanya
terletak di serambi masjid bagian selatan dan “Guntur Sari” yang ada di
bagian utara.
Begitu pula, untuk Keraton Kasultanan Yogyakarta, oleh karena hanya
menerima gamelan Kanjeng Nyai Sekati, lalu membuatkan pasangannya
(duplikat Kanjeng Kyai Sekati), namanya Guntur Madu dan Nogo Wilogo.
Untuk Kasultanan Cirebon yang tidak mendapatkan gamelan Kyai Sekati
kemudian dibuatkan oleh Sunan Kalijaga yang kebetulan masih ada ikatan
keluarga dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon.
B. Grebeg Besar dan Sejarahnya
Kata bahasa Jawa Garebeg, Grebeg, Gerbeg, bermakna : suara angin yang
menderu. Kata bahasa Jawa (h) anggarebeg, mengandung makna mengiring
raja, pembesar atau pengantin. Grebeg bisa juga diartikan digiring,
dikumpulkan, dan dikepung. Jadi grebeg bisa berarti dikumpulkan dalam
suatutempat untuk kepentingan khusus. Adapun Grebeg Besar seremonial
yang terkenal di Demak, kata “Besar” adalah mengambil nama bulan yaitu
bulan Besar (Dzulhijah).
Maka makna Grebeg Besar adalah kumpulnya masyarakat Islam pada bulan
Besar, sekali dalam setahun yaitu untuk suatu kepentingan da’wah
Islamiyah di Masjid agung Demak.
Cerita tutur mewartakan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu
menyelenggarakan selamatan kerajaan (bahasa Jawa = wilujengan nagari)
setiap tahun baru dan disebut Rojowedo, artinya kitab suci raja atau
kebajikan raja. Disebut pula, ada yang mengatakan Rojomedo, artinya
hewan korban kerajaan.
Tujuan selamatan kerajaan yang hakikatnya adalah suatu cara korban
agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan, keselamatan kepada
raja dan kerajaan serta rakyatnya.
Dalam peristiwa itu, rakyat datang menghadap raja untuk menyampaikan
sembah baktinya. Raja keluar dari keratin lalu duduk di singgasana
keemasan (bahasa jawa=dhampar kencono) di bangsal Ponconiti. Penampilan
raja untuk menerima sembah bakti rakyat yang datang mengahadap (bahasa
jawa=sowan), diiringi (bahasa jawa=ginarebeg) oleh para putra dan
segenap punggawa Keraton.
Dalam Babad Jawa Jaka Tingkir dijelaskan: Sudah menjadi kelaziman
pada setiap peringatan Maulid Nabi selalu diadakan pembacaan riwayat
Nabi, pembacaan syair lagu-lagu yang merdu silih berganti. Seusai
peringatan, dilanjutkan musyawarah antara Sultan Demak dan para Wali
Agung, kemudian dilanjutkan tahlilan dan akhirnya santap bersama.
Keesokan harinya diadakan upacara grebegan, Sultan Demak mengadakan paseban di setinggil Demak.
Dalam grebegan tadi, Sultan di singgasana Manikwungu menghadap ke
utara, kiri kanan Sultan duduk para wali pawingking, para pandhita
berada di Masjid sedangkan para Ulama, abid (orang yang ahli ibadah),
sulaka (salik yaitu orang yang meng-fokuskan hidupnya hanya untuk
mendekatkan diri pada Allah SWT), puhaka (ahli fiqih/syariat Islam)
berada di serambi masjid dan halaman. (Babad Jaka Tingkir, 1981:78)
Tak lama setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan pertama
kasultanan Demak dengan gelar Kanjeng Sultan Raden Abdul Fattah Al Akbar
Sayyidin Panatagama, baginda langsung menghapuskan adat
menyelenggarakan upacara kurban yang selalu dilakukan oleh para raja
Jawa-Hindu terdahulu. Sebab adat yang seperti itu, dinilai bertentangan
dengan aqidah Islam.
Penghapusan adat itu menimbulkan keresahan sebagian kalangan rakyat,
sebab rakyat yang selama berabad-abad turun-temurun sudah terbiasa hidup
dengan adat dari kepercayaan lama, belum dapat menerima sikap rajanya
yang baru itu. Keresahan tersebut menimbulkan gangguan keamanan Negara,
sebab khawatir timbul wabah penyakit menular.
Atas saran para wali, adat kepercayaan lama itu agar dihidupkan
kembali, namun diberi warna keislaman yaitu hewan kurban disembelih
menurut aturan agama Islam.
Awal dan akhir doa selamatan berupa do’a Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang.
Para wali giat berda’wah, penyebaran agama Islam awalnya tidak banyak
mengalami kemajuan. Hal ini bisa dilihat dengan masih sedikitnya jumlah
santri. Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan enggan untuk
mengucapkan syahadat sebgai pernytaan memeluk agama Islam.
Akhirnya para wali bermusyawarah, dan mereka sependapat untuk
menginsyafkan rakyat akan kebenaran ajaran agama Islam, haruslah
dilakukan secara bertahap, dengan penuh kearifan, bersikap sopan santun,
ramah tamah dalam berda’wah dan tanpa mencela adat serta unsur-unsur
kebudayaan rakyat bahkan seharusnya memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan
rakyat sebagai sarana da’wah, terutama dengan, dengan memanfaatkan
bahasa, adat-istiadat dan kesenian rakyat. Para wali menemukan taktik
da’wah “TUT WURI ANGISENI” Artinya memakai dan menghormati kebudayaan
yang ada, untuk memudahkan syiar agama Islam. Istilah lainnya, JOWO
DIGOWO, ARAB DIGARAP.
Sunan Kalijaga mengetahui bahwa pada waktu itu rakyat menyukai
perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan upacara keagamaan.
Apalagi jika perayaan dan keramaian ada juga irama gamelannya, tentu
saja akan sangat menarik perhatian rakyat untuk datang melihatnya.
Akhirnya timbullah gagasan Sunan Kalijaga supaya kerajaan
menyelenggarakan perayaaan dan keramaian setiap menyongsong hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal.
Untuk menarik perhatian rakyat agar mau datang ke Masjid Besar, maka
dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di halaman masjid. Setelah
berkumpul maka para wali dapat berda’wah langsung dihadapan rakyat.
Meski membunyikan gamelan di lingkungan masjid itu ada yang
menghukumi makruh, namun dengan menggunakan azas manfaat dan hikmah demi
kelancaran syiar Islam, maka Sunan Kalijaga dari ijtidahnya, berani
menghukumi mubah/boleh dikerjakan. Pendapat Sunan Kalijaga itu dapat
diterima majelis Walisongo. Sultan Fatah pun akhirnya menyetujui
pelaksanaan gagasan Sunan Kalijaga.
Maka dalam bulan Rabiul Awal, 12 (dua belas) hari sebelum kelahiran
Nabi, diselenggarakan perayaan dan keramaian yang disebut Sekaten. Di
halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus untuk menaruh dan
membunyikan gamelan yang disebut pagongan. Pagongan adalah tempat gong
(gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri. Konon sebagian dari
gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri dan sebagian
lagi oleh Sunan Kalijaga.
Selama 12 hari (dua belas) hari gamelan diperdengarkan terus menerus,
kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam jum’at sampai lewat
sholat Jum’at.
C. Tata Cara Perayaan Grebeg Besar
Acara Grebeg Besar Demak mempunyai urutan tata cara perayaan sebagai berikut :
1. Diawali dengan saling bersilaturahmi antara pihak Kasepuhan
Kadilangu dengan Bupati dan Wakil Bupati Demak, beserta jajaran Muspida
Demak. Bupati Demak bersama rombongan bersilaturahmi ke Kasepuhan
Kadilangu yang ditempatkan di Pendopo Noto Bratan Kadilangu Demak.
Selanjutnya, sesepuh Kadilangu dan keluarga Kasepuhan bersilaturhmi ke
Kabupaten Demak dan biasanya mereka diterima Bupati di ruang tamu
Kadipaten Demak.
2. Setelah silaturahmi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak dan
jajaran pemerintah Kabupaten Demak ziarah ke makam-makam leluhur Sultan
Bintoro di kompleks Masjid Agung Demak, dan dilanjutkan ziarah ke makam
Sunan Kalijaga.
3. Kemudian Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak meresmikan
pembukaan keramaian Grebeg Besar di lapangan Tembiring Jogo Indah.
4. Pada malam menjelang Idul Adha diadakan upacara Tumpeng
Walisongo/Sembilan yang menggambarkan jumlah 9 wali (walisongo),
diserahkan Bupati Demak kepada Takmir Masjid Agung Demak untuk dibagikan
kepada para pengunjung.
5. Tepat pada tangaal 10 Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kotang
Ontokusumo yang dimulai setelah selesai Sholat Idul Adha. Penjamasan
dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak dengan penyerahan minyak jamas oleh
Bupati kepada Manggala Prajurit yang akan membawanya ke Kadilangu
dengan dikawal prajurit patang puluhan yang berjalan kaki dengan
berjarak 2 Km. Bupati sekeluarga beserta para pejabat Pemerintah
kabupaten Demak turut mengantar minyak jamas dengan menaiki kereta
Kencana. Sesampainya di Kadilangu, minyak jamas diterima oleh Sesepuh
Kadilangu selanjutnya digunakan untuk menjamas Kotang Ontokusumo dan
Keris Kyai Crubuk.
BAB III
KESIMPULAN
Kabupaten Demak memang tidak bisa lepas dari perjuangan para Wali
Sanga sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa yang melakukan
aktivitasnya pada abad XV. Figur utamanya adalah Sultan Fatah dan Sunan
Kalijaga yang diakui merupakan tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas
sejarah Kabupaten Demak. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian ada
beragam acara dan kegiatan ritual yang diperkenalkan oleh kedua tokoh
itu masih berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam ritual yang
selalu di nantikan orang, tidak hanya oleh warga Kota Wali sendiri
tetapi juga oleh masyarakat luar daerah.
Perayaan GREBEG BESAR adalah murni hasil ciptaan para wali.
Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo angkatan I mengadakan siding di
serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya. Grebeg besar adalah
akulturasi antara agama islam dengan hindu. Sunan Kaljaga bertindak
sebagai pelopor pembaharuan (Reformis) dalam menyiarkan agama Islam.
Untuk mengimbangi kepentingan masyarakat, beliau ciptakan jenis kesenian
baru yang disebut Wayang Purwo (wayang kulit). Semua jenis kesenian
rakyat yang hampir mati karena Majapahit runtuh, dibangkitkan supaya
hidup kembali. Tujuannya untuk mencari simpati masyarakat dan jangan
sampai terjadi shock culture pada orang-orang yang sudah kuat religinya
dengan agama tertentu.
www.suaramerdeka.com
DAFTAR PUSTAKA
1 komentar:
Good job isna!!
Posting Komentar