Minggu, 28 September 2014

Grebeg Besar Demak



GREBEG BESAR DEMAK


BAB I

PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG

Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebudayan atau upacara adat yang berbada. Kebudayaan tersebut merupakan kebudayaan nasional.  Kebudayaan tersebut sudah lama ada dan berkembang di setiap daerah dan di teruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagai generasi penerus, mungkin banyak yang belum tahu asal mula dan tujuan dari  kebudayaan tersebut. Grebeg Besar adalah salah satu contohnya. Kebudayaan ini terdapat di Demak Jawa Tengah.

RUMUSAN MASALAH

Grebeg besar sudah lama ada dan berkembang di Demak. Perayaan tersebut sepintas mungkin mirip dengan adat agama hindu. Namun, perayaan tersebut adalah tradisi orang-orang islam di Demak. Perayaan tersebut adalah akulturari antara agama islam dengan hindu. GREBEG BESAR adalah murni hasil ciptaan para wali.


BAB II

PEMBAHASAN

GREBEG BESAR DEMAK

Setiap tahun, Kabupaten Demak menyelenggarakan kegiatan Grebeg Besar yang rutin dilakukan dalam rangka memelihara kebudayaan leluhur. Kegiatan tersebut mampu membangkitkan semangat dan kebanggaan warga Kabupaten Demak, karena pada saat itu, terpancar kejayaan Kerajaan Demak pada masa lalu.

Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak bisa lepas dari perjuangan para Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa yang melakukan aktivitasnya pada abad XV. Figur utamanya adalah Sultan Fatah dan Sunan Kalijaga yang diakui merupakan tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas sejarah Kabupaten Demak. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian ada beragam acara dan kegiatan ritual yang diperkenalkan oleh kedua tokoh itu masih berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam ritual yang selalu di nantikan orang, tidak hanya oleh warga Kota Wali sendiri tetapi juga oleh masyarakat luar daerah.
Menurut data sejarah, tradisi grebeg besar sebenarnya pada awalnya tidak hanya sekali setahun pada saat Idul Adha. Semula ada empat Grebeg Besar, yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar. Kegiatan yang masih berlangsung adalah Grebeg Besar yang sampai sekarang masih menjadi bagian tradisi bernilai jual.
Ritual acara Grebeg Besar diawali dengan saling silaturahmi antara pihak Kasepuhan Kadilangu dan Bupati Demak. Didahului kunjungan Bupati ke Sasono Rengga Kadilangu, selanjutnya sesepuh Kadilangu dan keluarga kasepuhan bersilaturahmi menghadap Bupati dan biasanya mereka diterima di ruang tamu Bupati. Usai bersilaturahmi tersebut, Bupati dan Wakil Bupati bersama Ketua DPRD, Muspida Demak, dan jajaran pemerintah kabupaten Demak berziarah ke makam-makam leluhur Sultan Bintoro di kompleks Masjid Agung Demak. Hal ini dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di desa Kadilangu. Setelah itu rombongan meresmikan pembukaan keramaian Grebeg Besar di lapangan Tembiring.
Usai acara silaturahmi berakhir, dimulailah semua kegiatan keramaian di seantero Demak Kota.
Kemudian, pada malam menjelang Idul Adha diadakan acara Tumpeng Sembilan yang menggambarkan jumlah 9 wali (Wali Sanga) diserahkan oleh Bupati kepada Takmir Masjid Agung Demak untuk dibagikan kepada para pengunjung. Dalam acara Tumpeng Sembilan selalu di penuhi oleh warga masyarakat yang ingin ngalap berkah dengan mengharap mendapat bagian dari tumpeng yang dibagikan tersebut.
Tepat pada tanggal 10 Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kutang Ontokusuma yang di mulai setelah selesai Shalat Idul Adha. Khusus untuk acara penjamasan Kutang Ontokusuma melalui prosesi arak-arakan Prajurit Patang Puluhan yang berjalan dari Pendopo Kabupaten Demak menuju Kadilangu sejauh 2,5 km. Ini merupakan hiburan yang paling menyedot perhatian masyarakat karena sepanjang perjalanan yang dilalui Prajurit Patang Puluhan itu selalu penuh oleh masyarakat yang ingin melihat dari dekat.
Sebuah fenomena yang sangat menarik karena merupakan suatu gambaran yang nyata peristiwa menyatunya pejabat dengan rakyat dalam satu tempat sehingga tampak sebuah kerukunan dan kebersamaan langkah untuk menggapai cita- cita.
Bila zaman dahulu diadakan ritual mampu menghilangkan marabahaya, maka untuk saat ini kita perlu mengubah pandangan tersebut menjadi sebuah konsep yang modern, yaitu mencari alternatif penyelesaian masalah dengan cara koordinasi dan konsolidasi pemerintah dengan masyarakat. Ini bisa menjadi lebih baik dan membawa kemajuan Kota Wali. Betapa besar arti Grebeg Besar bagi Kabupaten ini.
Watak Religius Inilah watak religius masyarakat Kabupaten Demak yang selalu menghormati ajaran dan tradisi leluhur, khususnya para Wali tentang keimanan dan ketaqwaan. Bukan hanya sekadar menjalankan ajaran wajib dalam agama tetapi juga tradisi dan budaya Islami yang di kembangkan para Wali untuk menarik perhatian dan membawa masyarakat waktu itu untuk mengikuti ajaran yang mereka sebarkan. Seandainya pelaksanaannya tidak bersamaan dengan Idul Adha mungkin tidak seramai sekarang.

A. Budaya Grebeg Besar

Bentuk keramaian yang dikenal dengan nama GREBEG BESAR adalah murni hasil ciptaan para wali. Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo angkatan I mengadakan siding di serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya, keputusannya sebagai berikut :
“NGENANI ANANE SOMAWONO KIPRAH MEKARE TSAQOFAH HINDU ING NUSA SALALADANE, JUWAJIBAN PORO WALI AREP ALAKU TUT WURI ANGISENI. DARAPUN SUPOYO SANAK-SANAK HINDU MALAH LEGO-LEGOWO MANJING ISLAM.
Artinya : Dengan adanya perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah ini, tugas para wali dakwah menyesuaikan adat istiadat setempat sambil mengisi nafas Islam, agar supaya masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus ikhlas masuk Islam.
Keputusan siding ditulis Sunan Bonang dengan Huruf Arab Gondil, bentuknya notulen singkat. Pada tahun 1938 M, masih tersimpan di dalam mushola Astana Tuban dirawat oleh juru kunci yang bernama Raden Panji Soleh.
Sejak itu, Sunan Kaljaga mulai bertindak sebagai pelopor pembaharuan (Reformis) dalam menyiarkan agama Islam. Untuk mengimbangi kepentingan masyarakat, beliau ciptakan jenis kesenian baru yang disebut Wayang Purwo (wayang kulit). Semua jenis kesenian rakyat yang hampir mati karena Majapahit runtuh, dibangkitkan supaya hidup kembali. Tujuannya untuk mencari simpati masyarakat dan jangan sampai terjadi shock culture pada orang-orang yang sudah kuat religinya dengan agama tertentu. Hal itu dibenarkan juga oleh Dr. W.F Stutterheim dalam tulisannya “Culture Geschidenis Van Indonesia”.
Pada zaman kejayaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi Brawijaya V, pernah mengadakan upacara Sradha dibuat spektakuler. Sebab upacara tersebut dibunyikan gamelan Prabu Kertabhumi Brawijaya V yang bernama Kanjeng Kyai Sekar Delima.Dulu dibuat oleh Raden Panji Inu Kerta Pati (Panji Semirang) dari kerajaan Jenggala secara turun temurun menjadi milikr raja-raja Majapahit.
Setelah Majapahit runtuh, semua benda pusaka milik Prabu Kertabhumi Brawijaya V diboyong ke Demak. Termasuk gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima yang terdiri dari : “ Bonang Sapangkon, Demung dua pangkon, Kempyang Sepangkon, Saron Barung dua pangkon, Saron Penerus dua pangkon, bedhug satu buah, dan Gong Besar Sakti”.
Apabila gamelan itu ditabuk/dibunyikan, Bonang menggambarkan sorang imam yang berdo’a, sedangkan Demung, Kempyang, Saron, dan lain-lainnya menggambarkan makmum yang sedang meng-amin-I (membaca Amin).
Supaya da’wahnya para wali di dalam menyiarkan Islam dapat menarik perhatian umum, gamelan Kanjeng Kyai Sekar Delima dimanfaatkan. Tetapi sudah dilengkapi dengan seperangkat gamelan baru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Lalu gamelan dibagi menjadi dua perangkat, yang seperangkat dinamakan Kajeng Kyai Sekati dan seperangkatnya lagi dinamakan Kanjeng Nyai Sekati. Menurut wasiat Sunan Kalijaga, bahwa sampai kapanpun keberadaan gamelan tersebut harus sejodho (sepasang). Oleh karena itu, Keraton Kasunanan Surakarta yang hanya menerima pembagian gamelan Kanjeng Kyai Sekati, lalu membuatkan pasangan baru (duplikat gamelan Kanjeng Kyai Sekati) dan diberi nama “Guntur Madu” yang biasanya terletak di serambi masjid bagian selatan dan “Guntur Sari” yang ada di bagian utara.
Begitu pula, untuk Keraton Kasultanan Yogyakarta, oleh karena hanya menerima gamelan Kanjeng Nyai Sekati, lalu membuatkan pasangannya (duplikat Kanjeng Kyai Sekati), namanya Guntur Madu dan Nogo Wilogo.
Untuk Kasultanan Cirebon yang tidak mendapatkan gamelan Kyai Sekati kemudian dibuatkan oleh Sunan Kalijaga yang kebetulan masih ada ikatan keluarga dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon.

B. Grebeg Besar dan Sejarahnya

Kata bahasa Jawa Garebeg, Grebeg, Gerbeg, bermakna : suara angin yang menderu. Kata bahasa Jawa (h) anggarebeg, mengandung makna mengiring raja, pembesar atau pengantin. Grebeg bisa juga diartikan digiring, dikumpulkan, dan dikepung. Jadi grebeg bisa berarti dikumpulkan dalam suatutempat untuk kepentingan khusus. Adapun Grebeg Besar seremonial yang terkenal di Demak, kata “Besar” adalah mengambil nama bulan yaitu bulan Besar (Dzulhijah).
Maka makna Grebeg Besar adalah kumpulnya masyarakat Islam pada bulan Besar, sekali dalam setahun yaitu untuk suatu kepentingan da’wah Islamiyah di Masjid agung Demak.
Cerita tutur mewartakan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu menyelenggarakan selamatan kerajaan (bahasa Jawa = wilujengan nagari) setiap tahun baru dan disebut Rojowedo, artinya kitab suci raja atau kebajikan raja. Disebut pula, ada yang mengatakan Rojomedo, artinya hewan korban kerajaan.
Tujuan selamatan kerajaan yang hakikatnya adalah suatu cara korban agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan perlindungan, keselamatan kepada raja dan kerajaan serta rakyatnya.
Dalam peristiwa itu, rakyat datang menghadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya. Raja keluar dari keratin lalu duduk di singgasana keemasan (bahasa jawa=dhampar kencono) di bangsal Ponconiti. Penampilan raja untuk menerima sembah bakti rakyat yang datang mengahadap (bahasa jawa=sowan), diiringi (bahasa jawa=ginarebeg) oleh para putra dan segenap punggawa Keraton.
Dalam Babad Jawa Jaka Tingkir dijelaskan: Sudah menjadi kelaziman pada setiap peringatan Maulid Nabi selalu diadakan pembacaan riwayat Nabi, pembacaan syair lagu-lagu yang merdu silih berganti. Seusai peringatan, dilanjutkan musyawarah antara Sultan Demak dan para Wali Agung, kemudian dilanjutkan tahlilan dan akhirnya santap bersama.
Keesokan harinya diadakan upacara grebegan, Sultan Demak mengadakan paseban di setinggil Demak.
Dalam grebegan tadi, Sultan di singgasana Manikwungu menghadap ke utara, kiri kanan Sultan duduk para wali pawingking, para pandhita berada di Masjid sedangkan para Ulama, abid (orang yang ahli ibadah), sulaka (salik yaitu orang yang meng-fokuskan hidupnya hanya untuk mendekatkan diri pada Allah SWT), puhaka (ahli fiqih/syariat Islam) berada di serambi masjid dan halaman. (Babad Jaka Tingkir, 1981:78)
Tak lama setelah Raden Fatah dinobatkan menjadi Sultan pertama kasultanan Demak dengan gelar Kanjeng Sultan Raden Abdul Fattah Al Akbar Sayyidin Panatagama, baginda langsung menghapuskan adat menyelenggarakan upacara kurban yang selalu dilakukan oleh para raja Jawa-Hindu terdahulu. Sebab adat yang seperti itu, dinilai bertentangan dengan aqidah Islam.
Penghapusan adat itu menimbulkan keresahan sebagian kalangan rakyat, sebab rakyat yang selama berabad-abad turun-temurun sudah terbiasa hidup dengan adat dari kepercayaan lama, belum dapat menerima sikap rajanya yang baru itu. Keresahan tersebut menimbulkan gangguan keamanan Negara, sebab khawatir timbul wabah penyakit menular.
Atas saran para wali, adat kepercayaan lama itu agar dihidupkan kembali, namun diberi warna keislaman yaitu hewan kurban disembelih menurut aturan agama Islam.
Awal dan akhir doa selamatan berupa do’a Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang.
Para wali giat berda’wah, penyebaran agama Islam awalnya tidak banyak mengalami kemajuan. Hal ini bisa dilihat dengan masih sedikitnya jumlah santri. Sebagian besar rakyat terutama masyarakat pedesaan enggan untuk mengucapkan syahadat sebgai pernytaan memeluk agama Islam.
Akhirnya para wali bermusyawarah, dan mereka sependapat untuk menginsyafkan rakyat akan kebenaran ajaran agama Islam, haruslah dilakukan secara bertahap, dengan penuh kearifan, bersikap sopan santun, ramah tamah dalam berda’wah dan tanpa mencela adat serta unsur-unsur kebudayaan rakyat bahkan seharusnya memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat sebagai sarana da’wah, terutama dengan, dengan memanfaatkan bahasa, adat-istiadat dan kesenian rakyat. Para wali menemukan taktik da’wah “TUT WURI ANGISENI” Artinya memakai dan menghormati kebudayaan yang ada, untuk memudahkan syiar agama Islam. Istilah lainnya, JOWO DIGOWO, ARAB DIGARAP.
Sunan Kalijaga mengetahui bahwa pada waktu itu rakyat menyukai perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan upacara keagamaan. Apalagi jika perayaan dan keramaian  ada juga irama gamelannya, tentu saja akan sangat menarik perhatian rakyat untuk datang melihatnya. Akhirnya timbullah gagasan Sunan Kalijaga supaya kerajaan menyelenggarakan perayaaan dan keramaian setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal.
Untuk menarik perhatian rakyat agar mau datang ke Masjid Besar, maka dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di halaman masjid. Setelah berkumpul maka para wali dapat berda’wah langsung dihadapan rakyat.
Meski membunyikan gamelan di lingkungan masjid itu ada yang menghukumi makruh, namun dengan menggunakan azas manfaat dan hikmah demi kelancaran syiar Islam, maka Sunan Kalijaga dari ijtidahnya, berani menghukumi mubah/boleh dikerjakan. Pendapat Sunan Kalijaga itu dapat diterima majelis Walisongo. Sultan Fatah pun akhirnya menyetujui pelaksanaan gagasan Sunan Kalijaga.
Maka dalam bulan Rabiul Awal, 12 (dua belas) hari sebelum kelahiran Nabi, diselenggarakan perayaan dan keramaian yang disebut Sekaten. Di halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus untuk menaruh dan membunyikan gamelan yang disebut pagongan. Pagongan adalah tempat gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri. Konon sebagian dari gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri dan sebagian lagi oleh Sunan Kalijaga.
Selama 12 hari (dua belas) hari gamelan diperdengarkan terus menerus, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada malam jum’at sampai lewat sholat Jum’at.

C. Tata Cara Perayaan Grebeg Besar

Acara Grebeg Besar Demak mempunyai urutan tata cara perayaan sebagai berikut :
1. Diawali dengan saling bersilaturahmi antara pihak Kasepuhan Kadilangu dengan Bupati dan Wakil Bupati Demak, beserta jajaran Muspida Demak. Bupati Demak bersama rombongan bersilaturahmi ke Kasepuhan Kadilangu yang ditempatkan di Pendopo Noto Bratan Kadilangu Demak. Selanjutnya, sesepuh Kadilangu dan keluarga Kasepuhan bersilaturhmi ke Kabupaten Demak dan biasanya mereka diterima Bupati di ruang tamu Kadipaten Demak.
2. Setelah silaturahmi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak dan jajaran pemerintah Kabupaten Demak ziarah ke makam-makam leluhur Sultan Bintoro di kompleks Masjid Agung Demak, dan dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Kalijaga.
3. Kemudian Bupati, Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak meresmikan pembukaan keramaian Grebeg Besar di lapangan Tembiring Jogo Indah.
4. Pada malam menjelang Idul Adha diadakan upacara Tumpeng Walisongo/Sembilan yang menggambarkan jumlah 9 wali (walisongo), diserahkan Bupati Demak kepada Takmir Masjid Agung Demak untuk dibagikan kepada para pengunjung.
5. Tepat pada tangaal 10 Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kotang Ontokusumo yang dimulai setelah selesai Sholat Idul Adha. Penjamasan dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak dengan penyerahan minyak jamas oleh Bupati kepada Manggala Prajurit yang akan membawanya ke Kadilangu dengan dikawal prajurit patang puluhan yang berjalan kaki dengan berjarak 2 Km. Bupati sekeluarga beserta para pejabat Pemerintah kabupaten Demak turut mengantar minyak jamas dengan menaiki kereta Kencana. Sesampainya di Kadilangu, minyak jamas diterima oleh Sesepuh Kadilangu selanjutnya digunakan untuk menjamas Kotang Ontokusumo dan Keris Kyai Crubuk.


BAB III

KESIMPULAN

Kabupaten Demak memang tidak bisa lepas dari perjuangan para Wali Sanga sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa yang melakukan aktivitasnya pada abad XV. Figur utamanya adalah Sultan Fatah dan Sunan Kalijaga yang diakui merupakan tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas sejarah Kabupaten Demak. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian ada beragam acara dan kegiatan ritual yang diperkenalkan oleh kedua tokoh itu masih berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam ritual yang selalu di nantikan orang, tidak hanya oleh warga Kota Wali sendiri tetapi juga oleh masyarakat luar daerah.
Perayaan GREBEG BESAR adalah murni hasil ciptaan para wali. Pelaksanaannya dimulai setelah walisongo angkatan I mengadakan siding di serambi Masjid Agung Ampel Dento Surabaya. Grebeg besar adalah akulturasi antara agama islam dengan hindu. Sunan Kaljaga bertindak sebagai pelopor pembaharuan (Reformis) dalam menyiarkan agama Islam. Untuk mengimbangi kepentingan masyarakat, beliau ciptakan jenis kesenian baru yang disebut Wayang Purwo (wayang kulit). Semua jenis kesenian rakyat yang hampir mati karena Majapahit runtuh, dibangkitkan supaya hidup kembali. Tujuannya untuk mencari simpati masyarakat dan jangan sampai terjadi shock culture pada orang-orang yang sudah kuat religinya dengan agama tertentu.


DAFTAR PUSTAKA

www.demak-ku.blogspot.com
www.suaramerdeka.com

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Good job isna!!